Di tengah UAS yang melanda kehidupan perkuliahanku, kalian tau, tiba-tiba kemalasan melandaku dengan begitu dahsyat malam itu. Tiba-tiba aku benar-benar kenyang melihat text-book, diktat kuliah, slide dosen, soal-soal, kalkulator dan itu berarti aku lebih kenyang melihat tulisan di catatanku yang acak adut.
Ku buka laptop kesayanganku, tanganku tersangkut di sebuah folder video : Aksel. Lalu kuputar lagi satu demi satu potongan-potongan kehidupan SMA kita. Memoryku masih segar mengingat masa-masa itu, kala tiap pagi aku berlari dari kosan ke sekolah karena telat bersama sahabatku yg jenius tapi pemalas. Bayangan istirahat di kelas kita yang sejuk ber-AC, segar ber-dispenser, nyaman ber-TV, masih lekat. Jam kelas kita dengan gambar bunga terbingkai rapi di sudut kiri atas pintu depan kelas kita. Dua puluh meja besar dengan kursi sintetisnya tertata miring tak jelas : delapan belas tersusun sekehendak hati kita entah itu memutar, U, melingkar, seperti gerbong atau dua-dua; dua meja di belakang tempat kita meletakkan gelas dan inventaris kelas kita yang juga tak jelas. OHP bertengger nyaman di dekat jendela, bersisian dengan lemari tempat komputer aksel terletak, dan OHP itu benar-benar sangat berguna bagi beberapa dari kita sebagai tempat untuk mengecek apakah bedak Gohnson’s tertempel rata di wajah mereka.
Aku masih ingat kala itu, pertama kali kelas besar itu hanya terisi delapan orang, lalu hari demi hari, akhirnya kelas itu terisi oleh dua puluh karakter yang kemudian tereduksi menjadi delapan belas.
Aku yakin beberapa dari kalian pasti masih lekat juga dengan bayangan itu. Saat pak Joko masuk ke kelas membawa lembaran-lembaran yang bagaikan lubang buaya bagi kita yang belum belajar Integral dan diferensial, atau aku yang bergidik melihat pak Pranata membawa buku Fisika semester 5 yang tebalnya dua centimeter. Atau kita yang berlomba datang pagi untuk mendapat tempat strategis untuk melancarkan strategi perang kita : datang pagi, duduk di pojok belakang dengan geng contek-contekan di kanan-kiri*walaupun ini sering hanya teori karena bapak ibu guru bisa melihat tiap gerak kita dengan begitu detail. Atau pelajaran Biologi bu Kusnapsiyah yang menyenangkan dan kalian akan melihat kepalaku tertunduk dengan mata lima watt. Atau praktik membuat telur asin kita, ingat? Dan yang paling ku suka, Bahasa Indonesia kelas kita, membuat cerpen, debat, drama radio, drama, visualisasi puisi, menulis puisi.. Atau PKn yang dengan diktat andalannya bu Kun menjelaskan kepada kita pentingnya rasa berbangsa dan bernegara. Pak Herman yang membuat jantung beberapa dari kita berdebar begitu keras : ditunjuk membaca Al-Quran, atau menjawab unexpected questions. Atau Olah Raga yang agak tidak menyenangkan bagiku karena beberapa kali aku cedera*tulang naik dan tempurung geser, ingat? Yang karena itu kalian harus membantuku berjalan, mendorongku dengan kursi guru yang beroda. Atau Geografi yang penuh presentasi dan menyenangkan tapi menjadi berat saat UTS dan UAS. Atau Ekonomi yang dibawakan bu Saptati dengan penuh wibawa. Atau pak Budi Tauladan dengan ‘yah’-nya yang ratusan kali dalam satu jam pelajaran namun membuat kita mencintai sejarah*Historia Vitae Magistra*. Atau Bahasa Inggris yang teramat sangat menyenangkan bersama Miss Erka dan pak Aziz selama dua tahun yang berharga itu. Atau Kimia yang dibawakan pak Roto dengan begitu cepat atau bu Niken yang begitu detail. Dan kalau kalian masih ingat, yang dalam bayanganku masih lekat, pak Aji yang menjelaskan Biologi-nya dengan terperinci, lucu, tidak membosankan dan langsung bisa kita cerna(semoga semua amal baik beliau diterima Allah SWT).
Dan lambat laun semuanya berlalu. Ulangan, pelajaran tambahan, apresiasi seni yang menyenangkan, table manner, wisata ke Bali, UAS, perpisahan..
Kalau kalian sadar, karakter yang kita bangun saat masa-masa itu tak lepas dari peran mereka. Mereka yang mendidik dan mendampingi kita, membimbing, mengingatkan kesalahan kita. Dan saat ini aku baru sadar, sudah satu setengah tahun kita meninggalkan kelas kita yang indah itu dan dalam satu setengah tahun itu aku yakin kita telah menemukan jalan kita masing-masing, kesuksesan kita masing-masing yang mungkin dulu masih bersembunyi di kantong seragam OSIS kita. Tapi sekarang, tak ada seragam OSIS yang berarti kesuksesan kita sudah tidak tekekang lagi*hee maap agak maksa analoginya* Dan kalau kita renungi bersama, apa kita pernah, sekadar silaturahmi kepada pahlawan-pahlawan masa SMA kita? Kita bahkan kalah dengan teman-teman kita dari reguler yang tiap tahun mengenang masa-masa SMA secara lengkap bersama pahlawan mereka.
Kepada bapak, ibu guru yang membimbing kami menuju jalan kesuksesan kami selama dua tahun, kamu ucapkan terima kasih, terima kasih yang tak terhingga. Terima kasih yang mungkin tak bisa kami realisasikan begitu nyata. Terima kasih yang selama ini masih tersembunyi dalam hati kami.
Kami ingin bapak dan ibu guru kami, yang teristimewa bagi kami, yang tak akan pernah kami lupakan jasa-jasanya, yang telah, masih dan akan tetap lekat dalam bayangan kami, menjadi saksi keberhasilan didikannya dulu...