Angsa Jenius

"Jika tidak sibuk dengan kebaikan, berarti kita tengah sibuk dalam keburukan, atau minimal kesia-siaan."

Kriteria Idaman

Saturday, January 25, 2020
Sejak kecil, pasti kita punya, deh, yang namanya gambaran jodoh idaman. Tipe ideal gitu nggak, sih, nyebutnya? Hahahaha. Oh sungguh memalukan sekali ya kalau diingat-ingat. Efek apa lagi kalau bukan tontonan masa kecil?! Sebagai generasi yang tumbuh bersama serial Cina kaya Kera Sakti, Kembalinya Pendekar Rajawali alias Yoko, Putri Huan Zhu, Meteor Garden; dan film-film Bollywood pada masa keemasannya, biasanya tipe idealnya nggak jauh-jauh dari situ.





Yaa, namanya juga anak SD dan SMP, kriterianya pasti sebatas fisik dan hal-hal umum aja, lah, seperti baik, perhatian, murah senyum, pintar, dsb. Mana ada kepikiran tipe idealnya yang shalat subuhnya selalu di masjid, ea.

Lalu, kita tumbuh. Bukan lagi anak SMP yang baru pertama tahu rasanya berdebar-debar saat berpapasan dengan kakak kelas. Kita tumbuh menjadi remaja, dengan lingkaran pergaulan yang lebih luas. Tapi, diam-diam kriteria jodoh idaman tersebut masih kita simpan tanpa disadari.

Lalu, tiba saatnya kita menemukan seseorang yang mengambil tanggung jawab ayah kita. Laki-laki ini, dalam satu kalimatnya, mengguncang singgasana Penciptanya lantaran besar janji yang ia ucap dan ia tanggung. 

Akad. 
Mungkin, laki-laki yang sekarang kita sebut suami jauh dari tipe ideal, kriteria jodoh idaman yang berawal dari tontonan di tivi sewaktu kecil ditambah dengan pengalaman-pengalaman masa remaja. Tapi, pada akhirnya kita sama sekali tidak keberatan menikahinya meskipun ia bukan tipe ideal kita.


K E N A P A ?
Karena kita tumbuh, dan kita menyadari beberapa kriteria yang kita jaga sejak SMP itu bersifat permukaan, bisa ditoleransi, nggak apa-apa kalau nggak kesampaian, nggak saklek. Misalnya aku yang dulu berkhayal dapet laki-laki model Raj Aryan Malhotra gitu, lah. Tercapai? Enggak! Hahaha. Eh, pada tahu Raj Aryan Malhotra nggak, sih? Itu, loh, Shah Rukh Khan di film Mohabbatein 😂😂




Lalu, apakah aku kurang bahagia setelah menikah dengan orang yang persamaannya dengan Raj cuma sama-sama pakai kacamata? Enggak, tuh.

Ternyata setelah menikah, Allah hadirkan cinta yang sepaket sama rasa tenang, damai dan nyaman kalau di dekat suami. Sepaket rasa yang membuat ingin pulang dan memantik rindu kala berjauhan. Rumah tangga bukan lagi soal tipe ideal yang daftarnya pernah aku tulis di buku diary 😂

Dalam perjalanannya, pasti ada adu pendapat dan debat. Pasti pernah ada kecewa, pasti pernah marah, pasti rasa bosan juga pernah mampir. Tapi satu hal yang aku ingat kenapa aku mengiyakan ajakannya menikah dulu adalah karena aku merasa cukup saat ada Banggez, yaa dulu sih masih Gheza manggilnya, kan sohib 😜

Aku memilihnya karena aku merasa cukup, tidak lagi butuh tempat lain untuk bercerita atau mencari apresiasi.

Find your why, semoga alasan itu tetap menyala dan menjadi penerang saat rumah tangga terasa redup.


Love,
Rahma Djati

p.s. ditulis dengan backsound OST Saawariya, coba deh cari di YouTube, suara Shreya Goshal adem beneeerrr ngalah-ngalahin air es

Menggugurkan Kewajiban, Dilakukan Hanya Agar Selesai

Friday, January 24, 2020

Pernah nggak, sih, melakukan sesuatu hanya supaya selesai? Ya, cuma biar berlalu dan selesai aja gitu, menggugurkan kewajiban. Bukan dilakukan karena menikmati betul. Pernah?

Dua minggu yang lalu Uni, anak pertama aku, cerita.

Uni  : Buk, tadi di sekolah, kata bu guru disuruh bobonya sendiri. Nggak usah dikelonin, bobo sendiri aja, kan udah gede.
Aku : Oh, gitu? Emang temen-temen Uni bobonya sendiri?
Uni  : Iya.
Aku : Uni juga, dong, kalau gitu.
Uni  : Nggak, ah. Aku kan suka dikelonin, aku nggak mau bobo sendiri.
Aku : Gitu? Afiqa suka dikelonin Ibuk?
Uni  : Iya, dikelonin, dipeluk, digaruk-garuk pantatnya *ngomong sambil tertawa geli sendiri*.

Btw, iya Uni ngomongnya memang sudah lancar banget. Kosakatanya sudah banyak dan sudah bisa bilang R, wow bangga! 😆 Aku merasa menuai benih membaca buku yang kutanam sejak Uni 5 bulanan.

Nah, back to topic. Setelah ngobrol itu aku jadi berpikir, wah jangan-jangan selama ini banyak kegiatan dan hal yang penting menurut anak-anak, tapi aku justru menyepelekan. Tidur dikelonin, misalnya. Aku lebih banyak menganggap menidurkan anak-anak sebagai hal yang "ayo, dong, cepet tidur, biar selesai urusan Ibuk",  karena setelah mereka tidur aku merasa selesai tugas hari itu. Bebas mau ngobrol sama Banggez, mau makan, mau baca buku, mau nonton, mau belajar, apa aja, lah!

Itu juga sebabnya ketika sedang makan malam dan salah satu anak terbangun, aku selalu refleks "Aduuh!", yang selalu dibalas dengan "Sabaar." oleh Banggez. Karena saat ada yang terbangun artinya aku harus menghentikan aktivitas apa pun yang sedang kulakukan, kembali ke kamar, lalu kembali menidurkan mereka. Ada banyak masa di mana aku merasa itu beban, sampai terlontar

"Abang bilang sabar-sabar aja, capek, tau!"
"Loh, iya, tugasku emang bilang sabar. Ya aku bisa bantu apa, coba? Kan nggak mungkin aku bilang ayo Buk marah Buk, kesel Buk. Aku tahu capek, aku tahu kesel, makanya aku bilang sabar."

Hmmm... yajugak!
Karena anak-anak yang kebangun setengah sadar ini pasti nangis dan marah kalau yang datang ayahnya, bukan ibuknya, jadi Banggez memang nggak bisa bantu apa-apa kecuali bilang sabar dan pause makan, menunggu anak-anak bobo lagi. Kenapa harus ditunggu? Karena aku selalu makan sepiring berduaaaa, kalau Banggez lanjut makan, ngambek lah aku 😤

Sejak obrolan bareng Uni itu, aku jadi lebih menikmati momen ngelonin anak-anak. Rasa sebel dan capek karena mereka nggak tidur-tidur bisa dikikis karena tahu mereka menikmati momen itu. Daripada aku kesel, kenapa aku nggak ikut menikmati dan happy aja?
Hal-hal yang kita, orang dewasa, anggap kecil seperti memandikan, membacakan buku, mengantar sekolah atau ngaji bisa jadi adalah hal-hal yang berarti penting dan dinikmati oleh anak-anak kita. 

Jadi, kenapa nggak mulai menikmati aja? Dilakukan dengan dinikmati, bukan dilakukan cuma supaya selesai. Bisa, kan? Yuk!


Love,
Rahma Djati