Sering kali, kakak mencubit adiknya terlalu keras hingga berbekas. Biru lebam yang bertahan hingga beberapa hari, menyisakan tangis tiap kali bekasnya tersenggol. Bukan cubit lantaran benci, kakak mencubit lantaran gemas.
Di lain waktu, kakak mengambil paksa mainan adik hingga adik menangis histeris. Sang ibu terkejut, tak sempat berpikir jernih, ia tegur anak sulungnya dengan suara keras. Sekarang, kedua anaknya menangis.
Hari berikutnya, kakak sedang fokus bermain lego. Ia susun dengan hati-hati tiga potong kue yang diberi lilin tinggi, kemudian diletakkan di pinggir meja seraya berkata bangga "Aku jualan kuee, ibu mau nggaaak?", lalu adik menghampiri. Dengan mata berbinar, ia raih kue dari lego yang disusun kakaknya. Kakak marah, ia dorong adiknya hingga terbentur kepalanya. Ibu terkejut, tak sempat berpikir jernih, ia tegur kakaknya dengan suara keras dan tangan terangkat ke udara. Seperti hendak memukul, tapi berhasil ia tahan. Tangannya hanya memukul udara, tak mengenai kulit anaknya. Namun sepertinya, udara mewakili hati anak sulungnya. Hati anak sulungnya ikut terluka meski rasa sakit pukulan itu tak dirasakannya.
Anak dua.
Bukan kakak yang meminta ia menjadi yang pertama.
Bukan ia juga yang meminta ibu melahirkan orang lain yang harus ia panggil adik, yang serta merta harus ia jaga, harus rela ia berbagi mainan padanya, harus rela waktu berpelukan sebelum tidur terbagi dua, harus rela memeluk ibu dari punggungnya karena ibu sedang menyusui adik sedangkan ia sangat ingin dipeluk ibu di penghujung hari, untuk melepas lelahnya, mencari sumber ketenangannya.
Anak dua.
Apakah melindungi yang satu berarti harus melukai yang lain?
Apakah mencegah adik terluka berarti harus mengganti menggores luka pada kakaknya?
Untuk semua ibu yang sedang berjuang mencintai anaknya, berkali-kali menghela nafas panjang sambil memejamkan mata hanya agar tak terlontar kata-kata menyakitkan yang menggores jiwanya, kita sedang berjuang bersama.