Angsa Jenius

"Jika tidak sibuk dengan kebaikan, berarti kita tengah sibuk dalam keburukan, atau minimal kesia-siaan."

Sedikit Oleh-Oleh Kajian Pendidikan Seks dalam Islam

Saturday, July 27, 2019
Lagi rame Dua Garis Biru yaaa di mana-mana. Aku jelas belum nonton lah karena aku nggak bisa ke bioskop. Lebih tepatnya banggez nggak akan ngasih ijin ninggalin anak buat nonton doang. Dulu aku sedih banget pas nggak dikasih ijin kaya begini, beberapa kali sampai nangis saking kepenginnya nonton huhuhu. Tapi sekarang tidak lagiiii. Ya sabar aja lah nunggu filmnya ada di iflix atau hooq. Ehem.



Nah saking ramainya, di komplekku sampai ada pengajian ibu-ibu TK yang temanya pendidikan seks dalam Islam dikaitkan sama film ini. Jadi plot story filmnya adalah anak SMA yang hamil, jelas di luar nikah lah namanya juga anak SMA. Dan ya, selamanya kita berdoa anak-anak kita nggak seperti ini. Huhuhuhu.
Poin yang dijelaskan sih dasar banget ya tentang ngajarin aurat, ngajarin mana mahram mana yang bukan, hal-hal yang sebenarnya kita sudah tahu tapi kadang macet aja praktiknya.

Termasuk dalam ngajarin aurat adalah dengan nggak mandiin anak di shower umum terbuka setelah berenang. Please ke kamar mandi ya buk, ribet memang. Paham banget aku. Tapi hal kecil kaya gini penting banget karena anak akan kenal rasa malu dan konsistensi orang tuanya ngajarin menutup aurat itu kaya gimana. Coba bayangkan gimana bingungnya si anak kalau di rumah kita gembar-gembor "Pakai baju di kamar, tidak boleh keluar kalau belum memakai baju." tapi ketika di kolam renang, anak diijinkan mandi di tempat terbuka. Bisa jadi anak justru berkesimpulan kalau di rumah nggak boleh tampak aurat, di kolam renang dan di luar rumah boleh. Kan kachaw.

Tapi mengajarkan aurat dan mahram adalah poin ketiga dan keempat. Poin pertamanya adalah dengan bahasa cinta.Apa itu bahasa cinta? 

Begini ilustrasinya. Berapa banyak anak menjelang puber yang nggak berani cerita ke orang tuanya karena takut dimarahi? Aku pernah dapat chat WhatsApp dari sepupuku umur 12 tahun, yang intinya dia nanya, gimana ya caranya cerita ke ibu suatu kesalahan tanpa dimarahi. Karena penasaran aku tanya apa salah yang baru aja dia perbuat, dan akhirnya aku mendapat jawaban setelah sebelumnya berkelit-kelit sepupuku enggan menjawab. Makan di mall habis 100 ribu, pakai uang bayar SPP, karena nggak tahu itu all you can eat dan nggak tahu harganya segitu. I was like....wow! That could happen to me as well in the future. Sangat mungkin nanti Afiqa dan Tazara melakukan kesalahan serupa, trus mereka nggak mau bilang ke aku karena takut ku marahi. Dhuer! 

Kalau istilah abah Ihsan, kita terlalu banyak ngomongin anak bukannya ngomong sama anak. Komunikasinya searah, dan kita kebanyakan ngasih nasihat. Akibatnya anak nggak mau cerita detail tentang kehidupan pribadi ke orang tuanya, tapi justru ke teman-temannya. Ya kalau kuingat-ingat lagi, memang masa remaja aku lebih banyak cerita ke teman-teman sih dibanding ke orang tua. Kenapa? Karena takut dimarahi dan dianggap salah lalu dinasihati begini dan begitu. 

Balik lagi bahasa cinta. Untuk bisa ngobrol sama anak ini, dibutuhkan cinta. Ngobrol pakai bahasa cinta, artinya kita musti paham dulu tipe anak ini gimana pendekatan bahasanya. Soalnya aku lagi ngerasain sendiri betapa berbedanya dua anak dari sisi karakter dan cara ngpbrol. Afiqa tipe anak periang yang banyak bicara, vokal dan ambisius, dan sukanya mimpin. Ngobrol sama dia harus pakai negosiasi, kalau main suruh-suruh aja dia akan marah. Sedangkan Tazara, yang baru 8 bulan, adalah tipe anak yang nggak banyak ngomong dan lebih kalem. Nangis hanya kalau ditinggal atau sakit karena jatuh, kejedug atau digigit uninya. Ngobrol sama Zara harus lebih halus, yaa seenggaknya sampai saat ini. Nggak tahu deh beberapa tahun ke depan bakal kaya gimana. Jadi benar-benar harus kenal dulu seperti apa tipikal anak supaya kita bisa ngobrol dengan bahasa cinta yang paling sesuai.

Setelah bahasa cinta, adalah aqidah. Dan termasuk dalam aqidah adalah dengan nggak nakut-nakutin anak dengan dosa atau "Nanti Allah marah loh." karena ini cuma akan bikin anak berpikiran wah susah amat sih beragama, Allah gampang marah, nanti dosa. Padahal anak-anak sebelum baligh kan nggak dosa, ya kan? Tumbuhkan cinta, sampaikan bahwa Allah sayang sama kita makanya Allah suruh kita begini dan begitu.

Terdengar mudah?
Yes because it's always easier said than done. Ya tapi nggakpapa lah, namanya jadi orang tua memang harus berjuang. Hadiahnya aja surga. Kalau nggak berjuang nanti hadiahnya cuma kipas angin. 
Satu lagi. Dan ini penting, jadi kalau kalian menemukan saudara atau teman masih melakukan ini please dikasih tahu supaya nggak keterusan.

Perlakukan anak sesuai jenis kelaminnya. Jangan pernah, jangan pernah memakaikan baju perempuan ke anak laki-laki dan sebaliknya meski hanya untuk lucu-lucuan. No. Anak harus paham bahwa jika dia laki-laki maka dia harus bertindak seperti laki-laki, dimulai dari cara berpakaian. Karena banyaaakk aku lihat di sosmed aku, anak laki-laki dipakaikan kerudung lalu difoto dan dipost. Lucu katanya. NO! ITU NGGAK LUCU! Dari hal begini, anak bisa memaklumi kalau ada laki-laki berdandan dan bertingkah gemulai seperti perempuan, lama-lama dia akan memaklumi transgender. No, stop please! Huhuhuhu.

Kita jadi baik sama-sama yuk. Mungkin di masa depan, anak-anak kita akan saling mengenal dan berteman. Alangkah tenangnya hati kita kalau anak kita berteman dengan anak-anak lain yang baik juga, hasil didikan orang tua yang peduli dan mau belajar. Mau kan?

Persepsi Anak tentang Barang Branded

Wednesday, July 24, 2019
Siapa sih yang nggak suka barang branded? Kalaupun ada yang nggak suka, pasti masih lebih banyak yang suka. Dan kalaupun nggak suka barang branded, pasti ada alasannya. Misal sayang uang karena dengan harga semahal itu bisa dapat banyak barang dengan fungsi sama, tapi harga jauuh di bawahnya. Tapi, kalau nih, berkhayal dulu lah ya sebentar siang bolong gini, kamu punya akses dana tidak terbatas dan semua kebutuhan dasarmu udah terpenuhi, kamu mau nggak ngeluarin uang banyak untuk bawa pulang barang branded?



Tas belasan atau bahkan puluhan juta, sepeda lipat limapuluh juta, sepatu belasan juta, mainan merk paling premium, dan seterusnya dan seterusnya.

Hahaha jangan bilang jiwa misqueenku berontak ya, saldo rekening boleh tipis (yang semoga ga lama-lama dong, segera tebel lagi plis hahaha), tapi jiwa harus tetap kaya dong!

Kalau pas baca tulisan ini kamu merasa "aduh kok di luar jangkauan banget ya barang jutaan gitu" dan kamu nggak relate sama rasanya pakai barang branded, sini kita melipir sama-sama sambil jajan telor gulung mamang pinggir jalan. Kamu nggak sendirian. Mungkin memang nggak suka, atau belum tiba waktunya. Mungkin beberapa tahun lagi ketika keuangan keluarga udah sangat sangat baik, kamu bisa relate sama kondisi di atas. Mau dibantu aamiin? 😝

Nah kali ini aku mau bahas tentang ngajarin anak soal barang branded.

Ehem.

Sebagai ibu, aku tentu pengin Afiqa, Tazara dan adek-adeknya nanti (nantiiiiiii) tumbuh jadi anak yang fleksibel. Nggak norak ketika masuk ke tempat mewah dan melihat barang-barang branded, tapi juga tidak enggan memakai barang non-branded,  nggak memandang orang dengan barang branded lebih superior, tapi juga nggak memandang orang yang barang-barangnya non-branded itu di bawah mereka. Biasa aja gitu. Kalau kata orang Jawa ora nggumunan.

Aku sendiri termasuk nggak paham brand sebenernya. Tapi aku nggak merasa terganggu dengan itu, karena buat aku ya biasa aja. Ketika ada barang jutaan, wah iya bagus memang, kadang pengin punya tapi masih tahap biasa aja. Nggak sampai obsesif harus punya biar terkesan ini itu ini itu. Dan ini pasti ada peran didikan bapak ibukku yang nggak mentingin brand. Karena ya kamu berharap ada brand apa sih di Purworejo, dan bapak ibuk juga guru bukan kalangan jetset.

Makanya ketika suatu hari banggez masuk ke kompleks pertokoan barang branded, sendirian nih aku nggak ikut, dia video call dan nanya ke aku 
"Kamu mau dibeliin apa?" 
Aku langsung jawab "Adanya apa bang? Aku kan nggak paham merk." 
yang ternyata dibalas dengan "Sama hahaha."
Kemudian banggez berkeliling dan kami ketawa-tawa aja ketika tag harga yang ada diconvert ke rupiah. Alhamdulillaah, dikasih suami yang satu frekuensi, sama-sama melihat barang branded sebagai hal yang "bagus iya, mahal iya, tapi biasa aja."


Anak dan Barang Branded

Tahu kan anak itu ibarat spons? Semua diserap tanpa filter. Kalau orangtuanya membuat kesan barang branded itu bagus dan penting maka itu juga yang akan tertanam di alam bawah sadar si anak. Apa contohnya orangtua membuat kesan barang branded itu penting? dengan sering menyebut-nyebutnya, memuji kalau lihat ada orang pakai barang branded. Lama-kelamaan akan tertanam tuh "Iya ya kudu branded, branded itu bagus dan penting."

Yang gawatnya lagi, ketika anak menganggap barang branded itu penting mereka nggak mau memakai barang non-branded. Yaaa kalau orangtuanya terus berkecukupan, kalau tiba-tiba ekonomi susah gimana? Nggak sampai situ aja, ketika anak berbaur dengan lingkungannya trus tiba-tiba dia komentar "Itu nggak asli legonya, aku nggak mau main ah." gimana? Kita nggak mau kan punya anak yang nyebelin? hahaha.

Sebenernya nggak nyebelin sih dalam kerangka pikir anak-anak. Mereka cuma ngomongin apa yang selama ini mereka tangkap, tapi kalau didengar orang lain kan bisa jadi nyebelin. Ya nggaakk?

Lebih jauh lagi, kalau ini terus tertanam sampai mereka besar, ketika melihat orang mereka akan menilai dari penampilan luarnya aja. Ah dia pakai tas murah beli di pasar, ih itu kan sepatunya KW, ih mereka bajunya nggak bermerk males ah. Lalu pandangan kaya gini berlanjut jadi memandang rendah orang lain yang nggak selevel sama standar branded mereka. Coba kutanya sekali lagi, ada nggak yang mau anaknya kaya gini? ups.

Jadi gimana biar anak nggak gampang terpukau sama barang branded?
Satu, jangan bikin kesan barang branded itu penting. Ajak beli fungsi bukan beli merk. Sesekali beliin yang branded ya nggakpapa, tapi nggak perlulah disebut-sebut terus.

Dua, jangan apa-apa beli di mall sama supermarket. Buat kalangan yang nggak terjamin kondisi ekonominya selalu cukup. Ajak anak belanja ke pasar tradisional, ajak beli buku di toko buku pinggir jalan, ajak beli tepung di warung dan minyak di toko grosiran. Biar anak tahu bahwa nggak cuma supermarket dan mall tempat belanja yang ada di dunia. Dan supaya anak nggak norak masuk pasar jinjit jijik karena lantai kotor plus bau campuran sayur, ikan daging dan gilingan kelapa.

Branded stuffs are nice to have, but do not let those things define you.

Jadi gimana, kalau kalian udah cobain cara apa buat membentuk persepsi anak soal barang branded?

Potensi Patuh Seorang Istri

Tuesday, July 16, 2019
Pagi ini sembari makan bakso ramai-ramai, aku, bunda (ketika kusebut bunda berarti itu adalah mertuaku), teteh yang bantu di rumah bunda dan teteh yang bantu di rumahku terlibat pembicaraan hahahihi yang pada akhirnya bikin aku berpikir dalam-dalam.



Apa yang kita cari dari sosok seorang istri? ya atau menantu perempuan.

Sebutlah rupa yang jelita, tapi ini akan habis dikikis oleh waktu. Menyisakan garis-garis bukti kecantikan di masa lalu. Keluarganya yang baik asal-usulnya, hartanya yang banyak atau berpotensi menjadi banyak, agamanya yang baik. Ketika semua hal rasanya sudah sesuai kriteria, ada satu hal yang sering kali luput dipertimbangkan.

Potensi patuh pada suami.

Idealnya, kalau baik agamanya maka ia akan patuh pada suaminya karena wanita ini paham betul bagaimana posisinya dalam rumah tangga. Yang tidak keberatan ketika suaminya ingin ia di rumah, yang seketika patuh saat suaminya melarang memakai parfum di luar rumah, yang bergegas mengambil kerudung saat suami melirik karena ada pak satpam di depan rumah.

"Kalau cari mantu, bunda pengin anak bunda jadi raja di rumahnya. Tentu bukan raja yang otoriter, tapi dia punya kuasa atas rumahnya, istrinya mau patuh apa kata suaminya.", begitu kata bunda tadi pagi.

Always, it's easier said than done. Ada masa-masa menjadikan suami raja itu susahnyaaaa bukan main, karena sebagai perempuan anak pertama yang udah terbukti di berbagai tes kepribadian aku orangnya dominan, rasanya kalau ada yang nggak sesuai sama kriteria aku jadi rungsing aja. Nyuruh suami ini itu supaya sesuai sama mauku. Misalnya minta tolong oles-oles minyak kemiri ke kepala Zara sebagai ikhtiar agar rambutnya tumbuh lebat. Bang Gheza akan jawab oke dengan enteng pada permintaan pertama, tapi setelah lima menit nggak dilaksanakan aku akan nanya lagi, dan okenya berubah nada. Ketika sampai limabelas menit belum juga dilaksanakan, aku berubah jadi nyuruh. Dan suruhan itu adalah kalimat keenam yang bunyinya kurang lebih "Bang adek udah dioles minyak? / bang kasih minyak sekarang / bang adek mau mandi bentar lagi, minyaknya biar meresap sih cepetan dipakein." Permintaan berubah jadi perintah, dan raja mana yang suka diperintah? Eits.

Maka seninya menjadi istri juga meliputi merintah tanpa membuat suami merasa disuruh-suruh. Misalnya ketika bang Gheza main PUBG dan aku akan nanya lima menit sekali "bang lagi apa? / bang masih lama nggak? / bang kok ga mati-mati gamenya?" teruusss sampai berubah jadi "bang udahan dong mainnya, stop sekarang, aku mau ngobrol.", yang ujungnya ya tetep aja nunggu beres satu cycle game sih 😕

Selagi masih proses pencarian, wahai perempuan, carilah laki-laki yang kamu tahu kamu bisa patuh padanya. Berbeda tipe kepribadian bukan masalah asal kita bisa mengukur diri sendiri bahwa kita bisa patuh pada orang tersebut, kaya aku dan bang Gheza misalnya. Aku dominan sedangkan dia kalau di DISC tipenya S dan C, tipe orang yang menghindari konflik dan cenderung nurut dan cari aman.

Kalau udah menikah dan baru tahu kalau ternyata kita sulit nurut dan patuh sama suami gimana? Aku nggak menemukan solusi yang lebih baik selain ngaji, belajar agama. Supaya kita paham posisi dan kedudukan istri di hadapan suaminya.

Pasti bukan tanpa alasan Rasulullah pernah berkata seandainya manusia boleh saling bersujud niscaya para istri akan disuruh sujud di hadapan suaminya.

Memberi Rekomendasi, Perlu Nggak Sih?

Monday, July 15, 2019
Assalamu’alaykum! 🙂



Beberapa hari yang lalu aku buka question box di Instagram untuk ngumpulin data dokter dan bidan yang direkomendasikan menurut netizen buat membantu lahiran VBAC (vaginal birth after caesarean) alias lahiran normal setelah anak sebelumnya caesar. Tujuannya tentu saja buat membantu ibu-ibu yang pengin VBAC tapi bingung nyari nakes yang bisa dan mau bantu VBAC, karena aku pernah banget bingung nggak tahu harus ke mana, harus ngapain dulu, belajar apa aja, referensinya dari mana. Pengin sih VBAC tapi clueless banget.

Data rekomendasi itu belum jadi aku publish karena ternyata bisa jadi boomerang buat bidan yang bersangkutan. VBAC harus didampingi dsog tapi nyatanya banyak dsog yang nggak mau pasiennya VBAC karena terlalu berisiko. Makanya orang pada lari ke bidan-bidan yang udah berpengalaman bantu VBAC. Nah loh gimana tuh 🤭🤭

Btw, ngomongin rekomendasi nih, aku jadi merenung setelah postingan tentang VBAC tadi aku hold sebagai draft. Rekomendasi. Kenapa ya kita suka memberi rekomendasi?

Polanya begini. Kita melakukan/menggunakan sesuatu 🔜 kita merasa puas 🔜 kita memberi rekomendasi. Tapi kali ini aku hanya akan menyoroti dua hal, menikah dan VBAC.

Pasti kalian familiar dengan konten media sosial pasangan pengantin baru yang memamerkan foto berbau "indahnya menikah, nikmatnya pacaran setelah halal, kenapa nggak dari dulu aja, kalian semua kudu cepet nikah juga.", mungkin nggak persis tapi bernada seperti itu. Seolah-olah mereka adalah duta pernikahan nasional yang tugasnya ngomporin orang-orang supaya cepat menikah. Yang juga mulai bikin males ketika seolah-olah permasalahan orang lain harus diselesaikan dengan solusi mereka, menikah. Ngobrol apa, ujungnya 'makanya nikah', ih nggak asik deh. Hal-hal kaya gini rasanya mustahil dilakukan pasangan yang udah menikah 3 tahun deh, karena setelah 3 tahun itu ada banyak hal terjadi dalam pernikahan, yang belum dialami pasangan pengantin baru. Tentang berkompromi, saling menurunkan standar demi menyesuaikan dengan pasangan, mentoleransi mimpi dan cita-cita, belum lagi drama finansial, pengasuhan dan hubungan sama mertua.

Kehati-hatian serupa yang berusaha aku jaga ketika aku mau share tentang VBAC yang Allah ijinkan berhasil delapan bulan lalu. Satu hal yang aku terus katakan pada diriku sendiri, VBAC itu baik tapi nggak semua orang harus VBAC jadi jangan menyarankan VBAC pada semua ibu yang anak pertamanya caesar. It's personal preference. Tentu aku seneng banget cerita dan berbagi tips VBAC berdasarkan pengalamanku, tapi aku mulai menyadari aku nggak bisa asal ngasih rekomendasi ke orang untuk VBAC karena kondisi aku dan orang lain jelas berbeda. Aku nggak boleh mencoba menyelesaikan masalah orang lain memakai standarku pribadi.

Nggak ada yang salah dengan memberikan rekomendasi. Yang salah itu mengukur hidup dan masalah orang lain memakai standar kita pribadi. Seperti umur 25 harusnya sudah menikah, kalau belum menikah maka kasihan. Padahal orang lain happy-happy aja dan nggak ada masalah apa pun, kenapa kita yang menciptakan masalah sendiri?

Atau, harusnya lahiran normal setelah anak sebelumnya caesar, nikmatnya beda deh berlipat-lipat kalau lahiran normal. Jika tidak lahiran normal maka kasihan. Hei, orang lain happy-happy aja caesar lagi, kenapa kita yang menciptakan masalah sendiri?

Familiar? Pernah ketemu cerita kaya gitu nggak? Temen yang heboh merekomendasikan suatu hal hanya karena mereka berhasil dan menurut mereka baik. Cerita doong 😁

Drama Suami Awet Muda

Sunday, July 14, 2019
Assalamu'alaykum! 😁
Apa kabar weekend ini? Udah Juli aja yaaa, 6 bulan lagi udah 2020 loh nggak kerasa kan. Padahal kayanya baru kemaren banget adaptasi sama penulisan tahun 2019. Bulan ini bang Gheza dan Afiqa nambah hitungan usianya. Ulang tahun ya namanya? 😛 Aku nggak mau pake istilah ulang tahun karena keluarga kami nggak merayakan ulang tahun, jadi ngasih hadiah pun ya nggak pakai sebut ulang tahun.

Ngomongin umur niihhh.. bang Gheza tahun ini 29 tapi mukanya oh masih kaya bocah aja 😲 Geng istri-istri yang punya suami baby face mana suaranyaaa? 

Tadi siang ada mas-mas dari yayasan datang ke rumah nganterin surat buat aku, masnya ini memang belum pernah ketemu sama aku jadi dia nggak tahu yang namanya bu Rahma bentuknya kaya apa. Pas banget bang Gheza lagi di teras gendong Tazara sambil nungguin Afiqa main sepeda. Lalu terjadilah percakapan ini:

Mas-mas : Permisi mas, anaknya bu Rahma ya? 
Bang Gheza : Iya mas, bener! *dijawab dengan cepet dan sengaja hahahahuhuhu! mojok ah ngolesin krim anti aging tebel-tebel dulu

Setelah itu, bang Gheza cerita dengan bangga karena dia dikira anak aku, padahal kan emang masnya belum pernah tahu aku udah se-nenek-nenek apa. Eh.

Komplek aku memang rata-rata udah kakek nenek sih jadi ya wajar aja dikira yang namanya bu Rahma juga seperti mayoritas penduduk komplek. Yang kebangetan itu kalau udah ketemu langsung tapi masih ngira aku ibunya dan bang Gheza anak aku 😤😤😤

Tadi aku cerita di instastory tentang mas-mas kurir itu, dan jadi banyak yang curhat. Lucu-lucu banget ternyata drama istri yang suaminya baby face ini. Aku udah sampai kebal tiap ke minimarket aku dipanggil bu sedangkan bang Gheza dipanggil mas. Nggak jarang juga kalau lagi main sama Afiqa, mereka disangka kakak-adik atau ya om sama ponakannya gitu. Ya gimana, pakai bajunya sih kaos-kaos oblong trus celana panjang trus sandal jepit Ando, kan jadi kaya bocah. Mungkin kalau pakai baju koko dan celana kain serta sandal pakde-pakde bisa terlihat beberapa tahun lebih dewasa.


Nih hasil googling pakai keyword sandal laki-laki, aku menemukan beberapa tipe sandal pakde-pakde yaitu yang bertanda kuning. 

Yang paling parah itu aku dikira ibunya bang Gheza 😤💥 Waktu kami masih manten baru, kami ikut ke acara lamaran saudara dan seperti manten baru pada umumnya, kami makan sepiring berdua dan aku disuapin. Aku lupa deh aku dulu lagi riweuh apa emang pengin aja disuapin, pokoknya aku disuapin. Eh dari belakang aku ada budhe-budhe usia 50an gitu kalau dari penampilannya, menyapa dengan kalimat "Anaknya ya bu?" Whaaattttt 😱😱 aku lupa deh jawab apa waktu itu, tapi seingetku aku menjawab dengan damai yang intinya bukan lah nyang boneng, manten baru gini woy!

Kesel yaaa. Aku loh rangkaian skincarenya aja 10 steps, sedangkan bang Gheza cuci muka aja belum tentu sehari sekali, boro-boro dia pakai sunscreen. Tapi bawaan lahir memang ya mau diapain lagi 😜


Bunda mertua aku sampai berpesan dengan serius kaya gini nih "Rahma, abang itu awet muda. Kaya keluarga ayah, kaya ayah juga awet muda kan. Baik-baik Rahma rawat muka ya, jangan sampai nyesel nanti pas udah tua kok kelihatan jauh bedanya. Ya kelihatan lebih tua kita nggakpapa lah sedikit, namanya juga perempuan udah pernah hamil, tapi sedikit aja jangan banyak-banyak bedanya." Hahaha part kelihatan tua kita sedikit nggakpapa kok agak desperate kedengerannya 😭

Tips suami babyface agar tampak lebih dewasa

Cara ini bisa dicoba, perkara hasil semua tergantung kehendak Allah tapi ya coba aja lah dulu. Karena yang udah terlanjur suaminya babyface rada susah kalau mau ngimbangin dengan cara lomba babyface siapa yang menang, maka sekarang kita balik aja caranya. Kita bikin suami lebih dewasa sedikit hahaha.
  1. Suruh numbuhin kumis dan jenggot. Jenggot sunnah ya gaes jadi sekalian berpahala juga kan, kalau kumis sih sesuai selera. Dikit aja lah, nggak perlu tebal sampai kaya tuan Takur. Gimana caranya biar tumbuh? Coba beliin wak doyok atau krim sejenisnya, kalau suami nggak suka oles-oles atau males ya olesin aja pas udah tidur. 
  2. Dibikin buncit sedikit biar kelihatan udah bapak-bapak punya istri, Karena pas perutnya kempes jadi kaya anak sekolahan lagi huhuhu kzl.
  3. Ganti gaya berpakaian biar lebih dewasa, level kedewasaan pakaian silakan menyesuaikan. Mau level sandal pakde-pakde atau cukup kemejaan aja.
Aku udah coba cara pertama, dan nggak ngaruh apa pun tuh wak doyoknya terhadap tumbuhnya jenggot bang Gheza. Kok di iklan bisa sampai lebat banget kaya hutan di musim penghujan ya, di bang Gheza tetep aja jenggotnya sedikit dan jarang-jarang kaya pohon jeruk di kebun, ada jaraknya biar nggak rebutan kompos 😂 Untungnya sekarang bang Gheza udah kelihatan perutnya jadi nggak kaya mahasiswa amat lah gitu. Soalnya pernah waktu udah ada Afiqa, eh ada yang nawarin kenalan gitu dengan maksud membuka biro jodoh. Hmmm dikira suami aku masih single padahal udah punya anak satu. Tapi aku masih aja suka protes sih tiap bang Gheza abis cukur rambut, karena setelah cukur selalu kelihatan lebih muda. Aah! Jadi aku galau gitu antara "wow suamiku ganteng rambutnya begini" dan "tapi kok jadi kelihatan lebih muda, jadi kaya anak SMA lagi" 😤😤

By the way dari cerita-cerita yang masuk ke DM instagram aku, ada juga loh yang pas ngurus nikah ke KUA petugasnya berkali-kali nanya "Bener nih lahiran 93? Kamu anak SMA ya? Banyak sih anak SMA yang aneh-aneh trus ngaku lebih tua." Waw segitunya ya.

Awalnya memang kesel trus sempat nggak pede juga karena hal-hal remeh gitu, komentar orang-orang yang bahkan aku nggak kenal. Aku tua banget apa ya kelihatannya, aku nggak cantik nih, apa bajuku budhe-budhe banget ya gara-gara gamisan. Wah rontok tuh rasa percaya diri yang dibangun dengan susah payah, sekarang aja aku bisa cerita sambil ngakak-ngakak, dulu wah senyum kecut di luar, cemberut-cemberut di kamar. Apalagi ditambah postur yang nggak bisa diubah, ukuran kepala. Kepala bang Gheza tu kecil, kepala aku besar hahaha yang penting nggak besar kepala ya kan. Jadi kalau foto tu bawaannya kudu cari sudut yang paling pas buat menyamarkan kesan aku besar (dan lebih tua).

Beruntungnya, bang Gheza biarpun kelihatannya hahahihi gitu, dia paham bener caranya narik aku dari jurang ketidakpedean. Sampai akhirnya aku bisa menertawakan semua ini 😂

Kalian gimana nih geng istri-istri yang suaminya babyface, ada cerita apa? 

Ternyata Suami Nggak Paham

Sunday, July 07, 2019
Seringkali, hal yang penting menurut kita adalah hal yang tidak penting menurut pasangan kita. Mungkin beda urgensi, tapi yang jelas pasti beda sudut pandang, dan semuanya bisa diselesaikan dengan komunikasi.

Di hari pernikahan kami yang ketiga tahun, 2018 lalu, aku terang-terangan minta dikasih hadiah cincin. Iya terang-terangan, karena bang Gheza nggak mempan dikode-kode 😒 Ternyata, meskipun udah aku bilang dengan jelas tanpa basa-basi pun tetep nggak dikasih pemirsa 😂 Aku sempet baper lah, campur antara kesel, sedih dan bete kenapa kok nggak mau beliin. Beli sendiri bisa, tapi kalau bisa dibeliin ngapain beli sendiri, ya nggak? 😜

Sampai akhirnya tahun berganti. 2019. Dan permintaan hadiah ini mencuat kembali tanpa aku nunggu momen ulang tahun pernikahan karena kok ya lama amat sampe September hahaha nggak sabaran iya memang. Kami memang bukan tipe pasangan yang ngasih-ngasih surprise gitu, karena kalau udah dibeliin trus nggak sesuai selera kan mubadzir ya. Aku pernah soalnya beliin celana rumah dan nggak muat, padahal suami aku kan kuruusss, bisa-bisanya celana yang kubeliin sempit dong.

Balik lagi soal cincin. Permintaan itu kuucap lagi. Bang aku mau dong dibeliin cincin, yang kaya gini modelnya. Mendengar permintaan cincin itu berulang, suami aku akhirnya bilang yang selama ini ada di pikirannya, yang kurang lebih kaya gini:

Buat apa sih cincin? Cincin itu tersier lah, tersier banget. Kalau uangnya udah banyak banget baru deh sana bebelian cincin. Mending juga beli emas logam mulia, kalau harganya sama ya mending beli logam mulia kan. Lebih mahal logam mulia pun masih nggakpapa dibanding beli cincin. Trus cincin tu apa coba fungsinya? Nggak ada kan. Karena cincin itu nggak penting. Nggak ada fungsinya. Aku mending kamu beli baju, sepatu, tas gitu loh kan kelihatan dan jelas dipakai, nggak kaya cincin.

Ooooo....
Ternyata selama ini nggak dibeli-beliin ya karena suami aku nggak paham urgensinya perhiasan buat istrinya 😂 Sebenernya aku bukan tipe toko emas berjalan yang lengkap pakai perhiasan, yang kupakai cuma cincin nikah yang ada ukiran nama GHEZA aja. Dari kinclong mengkilap sampai sekarang udah bulukan. Sekali-kalinya seumur hidup ya ini aku pengin punya cincin baru, tapi maunya dibeliin, nggak mau beli sendiri. Hahaha.

Kalau kupikir lagi, seandainya kesel baper dan sedih karena nggak dikasih-kasih hadiah itu kupelihara, wah kacau sudah kehidupan kami. Karena istri yang kesel baper dan sedih yang dia pikir penyebabnya adalah suaminya, akan enggan terbuka sama suaminya sampai masalah itu terselesaikan. Lama-lama perasaan ini akan numpuk numpuk numpuk lalu DHUER! Meledak. Dan jelas, ibu yang memendam perasaan nggak enak dalam hatinya nggak akan bisa membersamai anaknya dengan bahagia sepenuh hati jiwa dan raga.

Jadi, kalau sekarang kamu masih punya perasaan yang mengganjal, atau ada hal yang ingin kamu utarakan segamblang-gamblangnya ke suami, atau kamu merasa kok suami nggak paham-paham sama maksudmu, coba deh sebelum berlarut-larut, ngobrol. Karena kayanya hampir semua masalah rumah tangga bisa diselesaikan asal suami istri mau terbuka untuk ngobrol dan diskusi. Dengerin sampai selesai, tumpahin semuanya. Kalau bukan suami yang jadi tempat curhat pertama dan utama, mau siapa lagi coba? Nggak mungkin kan curhat ke temen geng.

Kalau suami nggak mau diajak diskusi gimana? Ah mungkin kamu aja yang belum nemu caranya, pasti mau dan pasti bisa, cuma belum nemu aja metode ngobrol paling efektif buat kalian berdua.

Jadi, udah curhat apa pagi ini sama suami? 😋

Eh btw sampai tulisan ini aku post, cincinnya juga belum dibeliin sih hahaha tapi aku sudah paham apa yang suami aku pikirkan tentang permintaan aku. Mungkin dengan curhat, sampai bagian paling vulnerable dari diri kamu semua kamu tumpahin, masalah nggak langsung terselesaikan, apa yang kamu minta nggak langsung kamu dapat, tapi seenggaknya nggak ada lagi prasangka kenapa suami begini kenapa suami begitu. Karena ternyata suami kita nggak paham apa isi hati istrinya ini 😂