Hai!
Aku lagi buka-buka draft lama di laptop, dan aku menemukan cerita singkat, not to call it cerpen karena ya gitu doang, dan wow aku blushing bacanya 😂 Membaca cerita orang yang sedang jatuh cinta memang beda ya 😂
***
Dia datang begitu saja dan ingin pergi begitu saja, tanpa tahu betapa sulit menghapus bayangannya di setiap sudut kampus. (Baca selengkapnya di sini)
***
Empat tahun kemudian…
Kampus masih tampak sama sekilas. Pohon-pohon
masih tegak di tanah tempatnya menyerap nutrisi, gedung-gedung masih kokoh dan
tampan dari kejauhan. Lorong-lorong, yang kata orang seperti lorong rumah
sakit, masih sama misteriusnya. Semua masih sama kecuali dua hal, pertama bahwa
aku bukan lagi mahasiswa dan kedua adalah bahwa orang-orang berseragam putih
biru yang kutemui kini asing. Aku masih dikenal, disapa banyak orang, walaupun
dengan sapaan ‘kak’ bukan lagi namaku seperti dulu. Aku tak lagi menemui
sebayaku, orang-orang yang bisa dengan bebas kuteriaki dari jarak belasan
meter. Aku tak bisa sebebas dulu berjalan berjingkat-jingkat sambil sesekali
melompat mencoba meraih kayu-kayu di atap lorong kampus. Saat ini ada predikat
yang harus kujaga. Aku adalah dosen muda yang baru diangkat di kampus tempatku
mendapatkan gelar sarjana.
Jumat, 23
Desember 2017. Matahari Bandung bersinar terik, menyengat setiap penghuni
Bandung pinggiran yang sering disebut Bandung coret. Dayeuhkolot tak
terkecuali. Siang ini aku berjalan melewati lapangan futsal. Senyap. Hanya ada
beberapa rompi seragam dijemur, didiamkan begitu saja di lantai lapangan yang
memantulkan panas terik.
Mataku
menoleh ke satu sudut lapangan yang begitu familiar. Ada sesosok bayangan
disana, tengah duduk memegang botol minum, menoleh dan tersenyum. Ia mengerjap,
bayangan itu hilang dalam kedipan mata. Ini bukan kali pertama. Dulu aku percaya
bayangan seperti ini adalah hantu, tapi belakangan aku sadar ini rindu.
Aku terus
berjalan, berharap apa yang baru saja kulihat adalah nyata.
Berjalan
menyusur lorong sendirian melemparkan ingatanku pada empat tahun lalu.
Orang-orang dengan seragam yang sama tapi dengan cerita yang berbeda. Dari
ribuan mahasiswa kampus ini, yang tiap hari berseragam putih dengan rok atau
celana biru dongker, ada satu orang yang selalu berhasil menangkap mataku. Ada
satu orang yang setiap sapaannya ingin aku rekam untuk diputar berulang. Ada
satu orang yang hanya dengan senyumnya saja rasanya masalah terselesaikan. Satu
orang yang tatapannya saat menyimak cerita seperti memberi solusi.
Ia teringat
kutipan Kahlil Gibran dalam bukunya Almustafa, “Dan selalu saja cinta menyadari
kedalamannya ketika perpisahan tiba.” Ah… Selalu pula, rindu menemukan
pemiliknya ketika jarak menjadi sesuatu yang bisa diukur.
Banyak orang
memilih jujur ketika rindu, aku jelas bukan salah satunya. Cukuplah mengirim
kode-kode yang hanya kupahami sendiri. Menyapanya dalam dialog dengan Tuhanku.
Ia berakhir
di depan gedung tempatnya mengenal laki-laki itu, mahasiswa yang selalu
berhasil menangkap matanya. Rindunya menemukan pemiliknya. Rahmad.