Angsa Jenius

"Jika tidak sibuk dengan kebaikan, berarti kita tengah sibuk dalam keburukan, atau minimal kesia-siaan."

#KolaboRabu with Amalia @hebadaragema: Jerat Laki-Laki Soleh Virtual

Wednesday, August 21, 2019
Instagram, panggung di mana semua orang bebas menampilkan apa yang mereka mau. Telah tersedia jutaan pemirsa, kita hanya perlu memutuskan memilih pemirsa mana yang berpotensi tertarik pada postingan kita. Dan bagi sebagian orang, instagram benar-benar topeng yang sempurna.



Kali ini aku menghadirkan segmen baru di angsajenius, #KolaboRabu, kolaborasi dengan orang-orang yang punya ilmu lebih untuk berbagi insight dengan pembaca angsajenius yang akan aku posting setiap hari Rabu. Karena ilmu yang abadi adalah yang dibagi, ehem. Dan untuk membuka segmen ini, aku ngobrol dengan mbak Amalia Dian Ramadhini (instagram: @hebadaragema).

Soleh virtual, istilah yang aku pakai untuk menyebut mereka yang soleh hanya di media sosial, tampak baik, selalu mengajak kebaikan, banyak postingan bernada dakwah, bahkan foto diri pun bisa disulap menjadi dakwah berfaedah. Tapi di dunia nyata, siapa tahu?

Pernah dengar cerita seperti itu? Atau malah pernah menyaksikan sendiri?

Kalau kamu merasa kasus semacam ini cuma ada di FTV, ah nggak mungkin lah kejadian beneran, eits.. mbak Amal sendiri udah sering dapat curhatan dari teman-teman dan followersnya yang jadi korban atau saksi kasus-kasus kaya gini. Dan ternyata ini makin marak karena ada selebgram yang gembar-gemborin nikah muda setelah kenal dari media sosial. Wah ini udah lama sih hebohnya, dulu mereka heboh ngomporin dan ngajak nikah muda beserta pamer proses kenalnya yang bermula dari like dan komen postingan instagram.

Baca juga cerita aku bisa nikah sama sahabat sendiri di Rumah Kami Separuh Joglo Separuh Gadang

*

Teman-teman memanggilku Zia. Suatu pagi di bulan Juni, aku terbangun dan mendapati DM instagram dari seorang laki-laki yang tidak kukenal. Sebutlah ia Jo. Dengan santun Jo menyapa, memperkenalkan dirinya dan mengutarakan niatnya ingin mengenalku, jika semua cocok ia berniat melamar dan menikahiku. Segera aku scroll akun instagramnya, dan semua yang ku temui adalah postingan santun yang mengajak kebaikan. Terdapat beberapa foto dirinya, dan semua memberikan kesan baik.

Kami pun berkomunikasi lewat chat, bertemu beberapa kali dalam proses taaruf, hingga akhirnya kami menikah. Satu bulan, Jo tampak persis seperti yang ia tampilkan di instagramnya. Memasuki bulan kedua, aku seperti mendapati hidup bersama orang lain.

Jo kasar padaku, ia tidak cukup sabar ketika aku dianggapnya lama melakukan sesuatu. Sering kudengar ia berteriak saat menegurku. Padahal baru dua hari lalu kulihat ia memposting tentang suami idaman yang lembut pada istrinya.

Setelah menikah, aku juga mendapati bahwa dia pernah mengirim DM serupa yang dikirimkannya padaku, mengajak berkenalan dan berniat melamar, pada setidaknya lima perempuan. Lima yang ku tahu, yang tidak ku tahu entah masih ada berapa lagi. Setiap kali kutanya tentang ini, Jo selalu mengalihkan topik pembicaraan.

Diteriaki, dimarahi setiap hari, oleh orang yang paling kuharap sapaan lembutnya. Semula aku selalu mencari alasan bertahan, dengan harapan Jo akan berubah seiring usia pernikahan kami.

Menikah, di usia 23, dengan laki-laki yang sepenuhnya asing namun terlihat sangat santun dan selalu mengajak kebaikan di instagramnya, namun ternyata berbeda 180 derajat dengan sikapnya padaku di rumah. Seandainya dulu aku bersabar dan tidak tergesa-gesa, mencari tahu tentang Jo dengan lebih teliti. Seandainya.. seandainya.. 

Lalu aku tersadar, tak ada gunanya berandai-andai.

*

Sayangnya, cerita seperti Zia ada banyak di kehidupan nyata. Banyak yang bertahan karena berbagai alasan, tapi banyak juga yang kandas di usia pernikahannya yang masih hitungan jari.

Nggak ada yang salah dengan menampakkan sisi terbaik diri kita di media sosial. Nggak ada yang salah juga dengan mencari jodoh lewat proses taaruf, soalnya yang salah itu pacaran. Tapi kalau cari jodoh di media sosial....................

... jadi salah kalau cuma media sosial aja yang dijadikan patokan, tanpa cari tahu lebih dalam karena merasa di media sosialnya semua sudah ditampilkan.

Baca juga tulisan ustad Salim A.Fillah untuk refresh cinta suami istri di Ingatkan Suamimu untuk Bercermin.

"Dulu pernah ada loh laki-laki yang agak terkenal di twitter, ngirim DM ngajak nikah banyak perempuan. Yang dinikahin? Nggak adaa. Malah ada yang dihamilin.", ujar mbak Amal. Ngeri kan? Jadi gimana dong? Mbak Amal ngasih beberapa tips nih supaya kamu nggak terjebak terat laki-laki soleh virtual.

Satu, kalau ada yang DM kamu untuk ngajak kenalan atau nikah, jangan geernya yang diduluin. Soalnya bawaan perempuan kan gampang geer, gampang baper, jadi kali ini kamu harus pakai logika selogis-logisnya. Kalau memang dia serius, lanjutkan proses taaruf dengan perantara yang terpercaya. Kenapa harus ada perantara? Selain buat menjaga interaksi juga untuk cari tahu semua yang perlu kamu tahu. Tanya temannya, orang tuanya, tetangganya. Dan proses mencari tahu ini akan lebih gampang dilakukan oleh orang lain, bukan kamu sendiri.

Ingat nggak cerita bunda Khadijah RA waktu mau melamar nabi Muhammad SAW? Bunda Khadijah nggak langsung tanya sendiri tuh, tapi lewat orang kepercayaannya yang nanya-nanya dan cari tahu sampai akhirnya bunda Khadijah mantap. Kalau kamu nggak tahu cerita ini, segera buka siroh yang ada di rumah dan baca. Kalau kamu belum punya buku siroh nabawiyah, anggarkan bulan depan untuk beli ok!

Kedua, jangan terpaku sama apa yang ditampakkan di media sosial. Semua orang ingin terlihat baik, nggak ada yang ingin terlihat negatif, itu kenapa kita hanya memposting yang baik-baik di media sosial. Nggak percaya juga? Coba deh berapa kali kita posting makanan warteg yang kita beli, trus berapa kali kita posting makanan di restoran fancy?

Tiga, kalau dia terlalu aktif di media sosial, pikir lagi deh kamu sanggup nggak hidup dengan orang kaya gitu. Yang nggak lepas handphone, rajin upload-upload, pegang handphone muluuuu karena setelah upload-upload dia akan lanjut sibuk membalas DM-DM yang masuk. Kalau kamu oke ya lanjut, kalau kira-kira kamu risih ya pikir lagi deh.

Empat, kalau kamu menemukan ada kekurangan yang susah kamu toleransi lalu dia berjanji akan berubah setelah nikah, pikir lagi deh. Karena nggak ada jaminan dia akan beneran berubah setelah menikah. Misalnya, laki-laki itu tampak sempurna di instagram tapi di dunia nyata dia merokok. Kamu nggak suka, tapi dia berjanji akan stop merokok setelah menikah. Apa jaminannya dia beneran akan stop merokok? Kalau dia tetap merokok maka kamu akan gimana? Kalau kamu siap menerima segala konsekuensi dia nggak berubah, ya boleh lah lanjut. Tapi kalau kamu kebayang akan bete setiap hari ketemu asap rokok di rumah, ya jangan diteruskan.

Menikah itu bukan solusi kamu galau skripsi, bukan juga solusi kamu nggak dapat-dapat kerja.
Menikah adalah solusi yang menghadirkan masalah-masalah baru.
Baca juga: Pake Jilbab di Rumah Mertua Nggak Seribet Itu

Tentang ini, kita bahas lain waktu.
Terima kasih udah baca! 😊

Bukan Cuma Parenting, Kita Juga Harus Belajar Childrening

Sunday, August 18, 2019
We learn about parenting, we learn about how to be a good parent. But, do we learn about childrening? Well maybe that's not even a word. Do we learn about how to be a good child to our parents and in laws? Do you?



Trend Ibu Milenial, Belajar Parenting

Banyak yang menyebutnya sebagai kebutuhan, which I agree. Tapi makin ke sini belajar parenting nggak cuma jadi kebutuhan melainkan udah jadi trend. Di manapun kamu berada, kamu bisa nemu seminar parenting dengan mudah, minimal bermodal smartphone yang seminarnya diadain via kuliah whatsapp (kulwap) atau video conference. Pembahasan ini nggak pernah luput dari setiap grup ibu-ibu muda, yang kemudian disusul dengan banyaknya referensi buku, link video, link blog dan link marketplace bermunculan. Mulai dari hal mendasar kaya eek anak aku normal nggak ya, ini bruntusan alergi atau kena ASI ya, sampai dengan how to handle temper tantrum, pendidikan seks sejak dini, dan isu-isu parenting lain. Kalau ditulis satu-satu, mungkin postingan ini bakal jadi cerbung 12 episode 😂

Informasi yang sekedar tahu tapi banjir saking banyaknya yang dibaca. Aku yakin setiap ibu baru pernah ngalamin tsunami informasi, terlalu banyaaakk info yang diterima, dari buku, instagram, grup watsap, blog orang, video, materi kulwap, hingga akhirnya........... bang! Your brain give up, you cannot handle it anymore. Lalu bingung, harus ngikutin yang mana karena ada banyak sumber, banyak pula yang kontradiktif. 

Lalu.... 
Kita belajar lagi, demi menjaga amanah yang ditunggu-tunggu ini. Seminar lagi, baca lagi, nontonin video seminar lagi. Ratusan ribu mah enteng, jutaan juga dikeluarin demi anak mah. Memang, pengeluaran buat anak ini emotional buying, mak. You got to admit it. Butuhnya sabun mandi, yang harga tigapuluh ribu aja cukup sebenernya karena ngga ada alergi dan semua fungsi sabun terpenuhi, tapi atas asas "demi anak", dan atas rekomendasi ibu-ibu di grup, rasanya kamu harus memberikan yang lebih baik buat anak. Ada yang lebih baik, kenapa harus beli yang lebih murah. Akhirnya belilah sabun seharga seratus ribu. 

Sedangkan krim malam emaknya beli yang share in jar biar hemat 😂 

All out banget pokokmen. Semuanya atas asas "demi anak, masih mau coba-coba?" loh kok kaya slogan minyak kayu putih.

Meanwhile...............................

Pernah ngga kita belajar tentang birrul walidain? Belajar dengan serius gimana menjadi anak, seserius kita belajar menjadi orang tua. Pernah?

Karena seringnya, kita merasa jago seiring jam terbang. Kalau kata pepatah alah bisa karena biasa, padahal ya belum tentu juga. Kita merasa nggak perlu belajar menjadi anak yang baik seperti apa karena kita merasa udah bisa jadi anak yang baik, toh udah puluhan tahun jadi anak masa iya selama ini nggak baik, selama ini salah dong?

Dan, manusia cenderung nggak suka mengakui kesalahan, jadi untuk ngaku selama ini belum baik ke orang tua aja pasti butuh proses yang nggak sebentar. Minimal proses gejolak batin sendiri, maju mundur. Kayanya aku banyak salah deh sama ibu, ah tapi ibu juga sih begitu sikapnya ke aku jadi ya wajar lah bukan salahku juga. Misalnya.

Setelah baca ini, mungkin sudah saatnya kita berkaca, sudah sebaik apa kita menjadi anak buat orang tua dan mertua? Menjaga perasaannya, cara berkomunikasi dengan orang tua yang biasanya kembali kaya anak kecil maunya semua diturutin, tentang membantu orang tua secara finansial, ketika berkonflik harus gimana. Wah ini panjang banget sih kalau ditulis satu-satu, insyaa Allah next post ya aku jabarin, oke!

Biar lengkap, bantu aku dong bikin daftar hal-hal esensial yang harus kita pelajari sebagai anak. Kalau sebagai ibu kan banyak tuh misalnya handling tantrum, mpasi, kesehatan anak dan pertolongan pertama, soal gadget dan anak, daaaan ratusan hal lain yang nggak kalah pentingnya. Nah kalau sebagai anak, apa lagi ya?

Cerita Afiqa #2 Jilat Jari


Salah satu hal paling menakjubkan dari memiliki anak adalah menyaksikan mereka belajar hal baru dengan begitu cepat. Lihat dan dengar satu kali, hap! serap semuanya tanpa cela. Seperti tadi sore sehabis makan sama-sama, Afiqa yang selesai duluan menuju tempat cuci tangan.

Afiqa: Buk, habis makan tuh sunnahnya tangannya dijilat ya buk *bernada ngasih tahu

Wow, inyik dan ucinya Afiqa sampai kaget dengar anak tiga tahun ngomong kaya gitu. Padahal.... baru kemarin aku ngasih tahu Afiqa bahwa habis makan pakai tangan, Rasul ngajarin kita jilat jari. Satu kali, itu juga nggak sengaja dan nggak niat-niat amat, cuma singkat aku bilang kalau jilat jari sehabis makan itu sunnah sambil aku jilatin jari. Satu kali yang ternyata nempel banget. Masyaa Allah banget nggak sih otak anak ini *berkaca-kaca, udah ngajarin apa aja aku huhuhu.

Pernah kan kaya gitu, ngajarin sesuatu sekali yang ternyata ditangkap sempurna sama si anak?

Agar Melarang Tidak Menjadi Drama

Saturday, August 03, 2019

Assalamu'alaykuum 😄

Kalau ditanya apa yang paling susah dari punya anak usia tiga tahun, salah satu jawabannya adalah kalau dia nggak mau dengar apa yang kubilang. Semakin dilarang, semakin drama. Nangis sampai kedengaran ke ujung jalan yang artinya tiga rumah ke samping, wow, atau justru semakin dilarang semakin semangat larangan itu dilakukan.

Tapi memang benar sih, pada akhirnya jadi orang tua itu mengulang instruksi berkali-kali dan mengulang larangan berkali-kali juga. Sedangkan menjadi anak itu ya mendengar instruksi dan larangan diulang beeerrrrrkali-kali. Nggak percaya? Coba deh hari ini aja, sudah berapa kali kalian ngasih instruksi ke anak dan berapa kali kalian melarang anak ini dan itu? Pasti nggak terhitung 😛

Sekarang coba kita telusuri dulu deh, yuk. Kenapa sih anak semakin dilarang semakin drama? Salah satunya kalau aku boleh tebak, pasti karena nggak ada aturan yang jelas yang sama-sama dipahami kedua belah pihak, orang tua dan anak. Atau kalau aturan memang sudah ada, pasti karena praktiknya nggak disiplin, aturan nggak ditegakkan dengan tegas. Benar nggak?

Kejadian yang lagi hot dan terulang hampir tiap malam di keluarga kami adalah drama Afiqa nggak mau pulang, Jadi setiap habis maghrib, aku, Afiqa dan Zara selalu ke rumah inyik. Lagi main bahagia happy-happy, mood Afiqa bisa berubah 180 derajat hanya gara-gara kuajak pulang. "Nggak mauu Afiqa mau bobo di inyik aja buk, ya buk? Boleh nggak buuk? Huuuuaaaa." sambil nangis teriak-teriak, lari kabur supaya nggak kugendong. Padahal briefing sudah, kuulang-ulang kalau Afiqa nanti tidur sama ibuk ya biar ketemu ayah. Iya-iya di depan, nyatanya pas mau diajak pulang tetap aja drama.

Berulang lagi dan lagi dan lagi. Sampai akhirnya aku sadar bahwa ada yang salah nih kenapa tiap malam drama cuma mau diajak pulang aja.


Aturan, yang sama-sama dipahami semua pihak dan disiplin dilaksanakan. Ini yang terlewat.

Memang sudah ada kesepakatan antara aku dan Afiqa bahwa dari satu minggu, Afiqa boleh tidur di rumah inyik dua kali. Harinya bebas. Sepertinya otak anak susah mengingat aturan ini, jadinya kesannya suka-suka boleh tidur sama ibuk atau sama inyik. Akhirnya aku dan Afiqa bikin kesepakatan baru, yang kuulang-ulang untuk memastikan dia paham. Crystal clear. 

Kalimat yang kusampaikan kurang lebih begini:
Dalam satu minggu ada tujuh hari, Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Minggu. Afiqa boleh bobo sama inyik hari Jumat dan Sabtu, hari lainnya, Senin Selasa Rabu Kamis dan Minggu sama ibuk.

Setelahnya, Afiqa jadi rajin ngabsen hari ini hari apa dan dia jatah tidurnya sama siapa.

Buat kesepakatan dengan anak
Sepenting itu loh membuat kesepakatan bersama anak, lebih penting lagi memastikan kesepakatan itu udah dipahami oleh anak. Karena tanpa aturan dan kesepakatan, apa dasar kita melarang-larang? Berlaku juga kalau kita mau menerapkan aturan nggak boleh makan permen di rumah misalnya. Jelaskan kenapa tidak boleh dan kapan ada pengecualian, misalnya kalau naik pesawat baru boleh makan permen. Padahal naik pesawatnya setahun sekali pas mudik aja, tapi dengan memberi ruang untuk pengecualian gini anak jadi nggak kecewa-kecewa amat. Hahaha, ya nggak? Jadi ada secercah harapan bahwa boleh makan permen gitu.

Larangan hanya bisa diterapkan jika ada aturan yang sama-sama dipahami anak dan orang tuanya.

Jangan lupa diulang-ulang dan suruh anak yang jelasin seperti apa aturan yang sudah disepakati, untuk memastikan kedua pihak sama-sama paham. Trus kalau anak menolak, gimana? Tinggal diingatkan kalau ada aturan yang udah sama-sama disepakati. Aku biasanya menambahkan bilang "Afiqa lupa yaa?" soalnya entah kenapa kalimat Afiqa lupa ya itu bisa bikin dia membaik moodnya. Mungkin merasa dihargai karena nggak dianggap nggak paham aturan tapi dianggap lupa, yang mana manusiawi. Mungkiiin.

Sudah bikin kesepakatan dan aturan apa aja nih weekend ini?

NEW! Cerita Afiqa #1 Berdoa sama Allah

Friday, August 02, 2019

Assalamu'alaikuum!
Wah seneng ya udah mau weekend lagi, meski rasanya waktu kok cepat amat berjalan. Tahu-tahu udah weekend lagi, tahu-tahu udah akhir bulan, tahu-tahu suami gajian. Oops. Di bulan Agustus ini, aku mau bikin tajuk baru di angsajenius yaitu Cerita Afiqa. Isinya nggak jauh-jauh dari Afiqa tentu saja. Rasanya, membayangkan beberapa tahun lagi dia baca tulisan ini tuh.... indah masyaa Allah.

#1 Berdoa sama Allah

Suatu malam, Afiqa minta baca buku Allah Ciptakan Tubuhku-nya TGOF. Di situ dia menemukan gambar anak-anak memakai mukena kuning.

Afiqa: Buk mukenanya bagus ya. Afiqa mauu..
Ibuk: Uni mau? Berdoa dong, minta sama Allah.

Lalu dia mengangkat tangan,
Afiqa: Bismillah, ya Allah Afiqa mau mukena kaya di gambar ini loh yang warna kuning. Semoga paketnya cepat datang aamiin.
Ibuk: 😂😂😂 dalam hati membatin "Eheeemm paham amaaaat kalau sering ada paket isi belanjaan."

Demikian. Sampai ketemu di Cerita Afiqa berikutnyaaa!