Angsa Jenius

"Jika tidak sibuk dengan kebaikan, berarti kita tengah sibuk dalam keburukan, atau minimal kesia-siaan."

Persepsi Anak tentang Barang Branded

Wednesday, July 24, 2019
Siapa sih yang nggak suka barang branded? Kalaupun ada yang nggak suka, pasti masih lebih banyak yang suka. Dan kalaupun nggak suka barang branded, pasti ada alasannya. Misal sayang uang karena dengan harga semahal itu bisa dapat banyak barang dengan fungsi sama, tapi harga jauuh di bawahnya. Tapi, kalau nih, berkhayal dulu lah ya sebentar siang bolong gini, kamu punya akses dana tidak terbatas dan semua kebutuhan dasarmu udah terpenuhi, kamu mau nggak ngeluarin uang banyak untuk bawa pulang barang branded?



Tas belasan atau bahkan puluhan juta, sepeda lipat limapuluh juta, sepatu belasan juta, mainan merk paling premium, dan seterusnya dan seterusnya.

Hahaha jangan bilang jiwa misqueenku berontak ya, saldo rekening boleh tipis (yang semoga ga lama-lama dong, segera tebel lagi plis hahaha), tapi jiwa harus tetap kaya dong!

Kalau pas baca tulisan ini kamu merasa "aduh kok di luar jangkauan banget ya barang jutaan gitu" dan kamu nggak relate sama rasanya pakai barang branded, sini kita melipir sama-sama sambil jajan telor gulung mamang pinggir jalan. Kamu nggak sendirian. Mungkin memang nggak suka, atau belum tiba waktunya. Mungkin beberapa tahun lagi ketika keuangan keluarga udah sangat sangat baik, kamu bisa relate sama kondisi di atas. Mau dibantu aamiin? 😝

Nah kali ini aku mau bahas tentang ngajarin anak soal barang branded.

Ehem.

Sebagai ibu, aku tentu pengin Afiqa, Tazara dan adek-adeknya nanti (nantiiiiiii) tumbuh jadi anak yang fleksibel. Nggak norak ketika masuk ke tempat mewah dan melihat barang-barang branded, tapi juga tidak enggan memakai barang non-branded,  nggak memandang orang dengan barang branded lebih superior, tapi juga nggak memandang orang yang barang-barangnya non-branded itu di bawah mereka. Biasa aja gitu. Kalau kata orang Jawa ora nggumunan.

Aku sendiri termasuk nggak paham brand sebenernya. Tapi aku nggak merasa terganggu dengan itu, karena buat aku ya biasa aja. Ketika ada barang jutaan, wah iya bagus memang, kadang pengin punya tapi masih tahap biasa aja. Nggak sampai obsesif harus punya biar terkesan ini itu ini itu. Dan ini pasti ada peran didikan bapak ibukku yang nggak mentingin brand. Karena ya kamu berharap ada brand apa sih di Purworejo, dan bapak ibuk juga guru bukan kalangan jetset.

Makanya ketika suatu hari banggez masuk ke kompleks pertokoan barang branded, sendirian nih aku nggak ikut, dia video call dan nanya ke aku 
"Kamu mau dibeliin apa?" 
Aku langsung jawab "Adanya apa bang? Aku kan nggak paham merk." 
yang ternyata dibalas dengan "Sama hahaha."
Kemudian banggez berkeliling dan kami ketawa-tawa aja ketika tag harga yang ada diconvert ke rupiah. Alhamdulillaah, dikasih suami yang satu frekuensi, sama-sama melihat barang branded sebagai hal yang "bagus iya, mahal iya, tapi biasa aja."


Anak dan Barang Branded

Tahu kan anak itu ibarat spons? Semua diserap tanpa filter. Kalau orangtuanya membuat kesan barang branded itu bagus dan penting maka itu juga yang akan tertanam di alam bawah sadar si anak. Apa contohnya orangtua membuat kesan barang branded itu penting? dengan sering menyebut-nyebutnya, memuji kalau lihat ada orang pakai barang branded. Lama-kelamaan akan tertanam tuh "Iya ya kudu branded, branded itu bagus dan penting."

Yang gawatnya lagi, ketika anak menganggap barang branded itu penting mereka nggak mau memakai barang non-branded. Yaaa kalau orangtuanya terus berkecukupan, kalau tiba-tiba ekonomi susah gimana? Nggak sampai situ aja, ketika anak berbaur dengan lingkungannya trus tiba-tiba dia komentar "Itu nggak asli legonya, aku nggak mau main ah." gimana? Kita nggak mau kan punya anak yang nyebelin? hahaha.

Sebenernya nggak nyebelin sih dalam kerangka pikir anak-anak. Mereka cuma ngomongin apa yang selama ini mereka tangkap, tapi kalau didengar orang lain kan bisa jadi nyebelin. Ya nggaakk?

Lebih jauh lagi, kalau ini terus tertanam sampai mereka besar, ketika melihat orang mereka akan menilai dari penampilan luarnya aja. Ah dia pakai tas murah beli di pasar, ih itu kan sepatunya KW, ih mereka bajunya nggak bermerk males ah. Lalu pandangan kaya gini berlanjut jadi memandang rendah orang lain yang nggak selevel sama standar branded mereka. Coba kutanya sekali lagi, ada nggak yang mau anaknya kaya gini? ups.

Jadi gimana biar anak nggak gampang terpukau sama barang branded?
Satu, jangan bikin kesan barang branded itu penting. Ajak beli fungsi bukan beli merk. Sesekali beliin yang branded ya nggakpapa, tapi nggak perlulah disebut-sebut terus.

Dua, jangan apa-apa beli di mall sama supermarket. Buat kalangan yang nggak terjamin kondisi ekonominya selalu cukup. Ajak anak belanja ke pasar tradisional, ajak beli buku di toko buku pinggir jalan, ajak beli tepung di warung dan minyak di toko grosiran. Biar anak tahu bahwa nggak cuma supermarket dan mall tempat belanja yang ada di dunia. Dan supaya anak nggak norak masuk pasar jinjit jijik karena lantai kotor plus bau campuran sayur, ikan daging dan gilingan kelapa.

Branded stuffs are nice to have, but do not let those things define you.

Jadi gimana, kalau kalian udah cobain cara apa buat membentuk persepsi anak soal barang branded?
Be First to Post Comment !
Post a Comment

Terima kasih sudah membaca! Silakan tinggalkan komentar di bawah ini :)

EMOTICON
Klik the button below to show emoticons and the its code
Hide Emoticon
Show Emoticon
:D
 
:)
 
:h
 
:a
 
:e
 
:f
 
:p
 
:v
 
:i
 
:j
 
:k
 
:(
 
:c
 
:n
 
:z
 
:g
 
:q
 
:r
 
:s
:t
 
:o
 
:x
 
:w
 
:m
 
:y
 
:b
 
:1
 
:2
 
:3
 
:4
 
:5
:6
 
:7
 
:8
 
:9