Sejak balita kita diajarkan untuk jujur, tidak menggunakan yang bukan milik tanpa ijin, tidak mengambil yang bukan kepunyaan.
Lalu kita tumbuh, tahun-tahun terlewat sejak pertama kali kita mendengar istilah jujur.
Seolah lupa, atau mungkin makna jujur yang berubah mengikuti perubahan trend baju abg masa kini.
Naik motor, helm dipakai karena takut kena tilang polisi. Lupa bahwa aspal tidak seempuk bantal di rumah. Saat berkendara malam hari, helm tidak dipakai karena alasan nggak ada polisi. Polisi memang tak ada, tapi kepala kita masih ada.
Saat berkendara di persimpangan yang sepi, lampu merah dilanggar. Toh tak ada polisi dan dari arah lain sepi. Lupa bahwa rentang lampu merah kita adalah hak pengguna jalan dari arah lain untuk berjalan.
Ketika macet, trotoar dijadikan jalan alternatif. Lupa bahwa itu adalah hak pejalan kaki untuk lewat.
Di angkot, atau di pasar yang penuh, rokok disulut. Lupa bahwa udara bersih tanpa kontaminasi adalah hak setiap individu.
Di taman kota, sampah permen dibuang begitu saja toh ada petugas kebersihan yang akan memungutnya. Lupa bahwa mereka bisa mengerjakan hal lain yang lebih banyak seandainya sehelai sampah kita masukkan ke tempatnya.
Allah ternyata kami memang sering lupa, atau sengaja lupa? Atau kami telah tidak jujur pada diri sendiri? Tahu bahwa itu salah tapi membenarkannya karena banyak yang berlaku demikian.
Sesungguhnya penjajahan dimulai karena kita membuka gerbang, membiarkan diri kita terjajah. Maka jangan salahkan orang lain kalau kita sendiri yang sudah membuka gerbang ketidakjujuran.
Dari Rahma Djati, untuk Indonesia.
Lalu kita tumbuh, tahun-tahun terlewat sejak pertama kali kita mendengar istilah jujur.
Seolah lupa, atau mungkin makna jujur yang berubah mengikuti perubahan trend baju abg masa kini.
Naik motor, helm dipakai karena takut kena tilang polisi. Lupa bahwa aspal tidak seempuk bantal di rumah. Saat berkendara malam hari, helm tidak dipakai karena alasan nggak ada polisi. Polisi memang tak ada, tapi kepala kita masih ada.
Saat berkendara di persimpangan yang sepi, lampu merah dilanggar. Toh tak ada polisi dan dari arah lain sepi. Lupa bahwa rentang lampu merah kita adalah hak pengguna jalan dari arah lain untuk berjalan.
Ketika macet, trotoar dijadikan jalan alternatif. Lupa bahwa itu adalah hak pejalan kaki untuk lewat.
Di angkot, atau di pasar yang penuh, rokok disulut. Lupa bahwa udara bersih tanpa kontaminasi adalah hak setiap individu.
Di taman kota, sampah permen dibuang begitu saja toh ada petugas kebersihan yang akan memungutnya. Lupa bahwa mereka bisa mengerjakan hal lain yang lebih banyak seandainya sehelai sampah kita masukkan ke tempatnya.
Allah ternyata kami memang sering lupa, atau sengaja lupa? Atau kami telah tidak jujur pada diri sendiri? Tahu bahwa itu salah tapi membenarkannya karena banyak yang berlaku demikian.
Sesungguhnya penjajahan dimulai karena kita membuka gerbang, membiarkan diri kita terjajah. Maka jangan salahkan orang lain kalau kita sendiri yang sudah membuka gerbang ketidakjujuran.
Dari Rahma Djati, untuk Indonesia.
tanda gejala amnesia massal, saat yang hal tidak biasa menjadi kebiasaan walopun itu salah... rumus 3M dari ustadz aa Gym masih relevan dengan kondisi saat ini.. saya menolak lupa :)
ReplyDeleteyg trotoar, itu tergantung sikon jg, misalnya jalannya berlubang dalalm
ReplyDelete